Thursday, May 31, 2007

Living Together Before Marriage, Pro and Cons

Meskipun masih sembunyi-sembunyi dan tidak terang-terangan, gaya hidup “living together before marriage” atau hidup bersama tanpa menikah sudah semakin banyak dilakukan di Indonesia.

Sayangnya, penganut gaya hidup yang diadopsi dari budaya Barat ini banyak yang tidak menyadari untung dan ruginya melakukan ini. Sebagian besar melakukannya tanpa pikir panjang dan hanya sekedar untuk senang-senang saja. Seperti yang diakui pasangan Citra dan Reja. ”Kami menyewa rumah untuk tinggal bersama. Tapi seringnya yang tinggal di rumah itu cuma Reja. Saya masih bolak-balik pulang ke rumah orang tua,” kata Citra yang belum tahu kapan akan menikah, karena masih sibuk dengan karir masing-masing.

Sedikit berbeda dengan Citra dan Reja, pasangan Wiwid dan Nanang sudah lama hidup bersama, tapi belum menikah karena orang tua mereka tidak mengijinkan. ”Sebagai anak yang baik, kami masih menunggu restu orang tua untuk menikah,” begitu kata Nanang, 30 tahun.

”Tapi sambil menunggu, kami juga tetap maju sendiri. Dari hasil kami bekerja, kami patungan mengkredit rumah,” jelas Wiwid yang bertemu dengan Nanang di sebuah hotel berbintang lima di Jakarta, tempat mereka bekerja. ”Yang lucu adalah tetangga berpikir kami memang sudah suami istri beneran. Setiap bulan kalau ada arisan bulanan, saya selalu diundang,” lanjutnya sambil tertawa.

Bagi banyak pasangan, hidup bersama tanpa menikah adalah sebuah “test drive” untuk menjajaki sampai di mana kesiapan mereka untuk menikah. Pertimbangannya, bila mereka bisa “hidup bersama” dengan akur dan bahagia, artinya pernikahan mereka pun akan berjalan mulus-mulus saja.

Selain itu, “hidup bersama” dianggap sebagai sebuah alternatif untuk bisa selalu bersama pasangan, tanpa merasa terperangkap oleh suatu ikatan pernikahan. Karena tidak ada pernikahan, saat ada ketidakcocokan di antara keduanya, mereka bisa ‘putus’ begitu saja, tanpa harus menjalani prosedur perceraian yang berbelit-belit.

Inilah salah satu fenomena yang terjadi di masyarakat kota Jakarta saat ini. Tentu saja, memutuskan untuk hidup bersama tanpa menikah adalah sepenuhnya otoritas pasangan yang bersangkutan. Namun, sebelum memutuskan, ada baiknya menimbang-nimbang terlebih dahulu. Bagaimanapun, hidup atau tinggal bersama dengan seseorang tanpa menikah memiliki resiko yang sama dengan menikah, tapi dengan perlindungan yang lebih minimal.

Mengapa hidup bersama?
Dr. Harley, seorang psikolog yang khusus memperhatikan masalah ini di Wales, Inggris, menyatakan bahwa alasan terutama orang hidup bersama tanpa menikah adalah karena ketakutan akan sebuah komitmen. Artinya orang itu ingin memastikan apakah pasangannya adalah orang yang tepat untuk menjadi teman hidup selamanya. Ia pun ingin memastikan bagaimana rasanya hidup berkeluarga bersamanya sebelum akhirnya benar-benar berkomitmen menikah dengannya.

Masalahnya, menurut Dr. Harley, hidup bersama tetap saja berbeda dengan menikah. Jadi, Anda tidak akan benar-benar tahu rasanya menikah, bila Anda tidak benar-benar menikah. Bila saat ini Anda sedang mencoba-coba apakah pasangan adalah pasangan yang tepat, dan apakah Anda telah benar-benar siap untuk menikah, kemudian ternyata hubungan Anda tidak berhasil dengannya, artinya tes Anda gagal, dan Anda pun berpisah. ’Putus’.

Tidak demikian dengan menikah. Menikah membutuhkan keberanian yang lebih dari itu. Bila menikah, kita harus menerima pasangan, baik dan buruknya, kelebihan dan kekurangannya. Bila suatu saat ada ketidakcocokkan di antara kedua pasangan, pernikahan tidak bisa dibatalkan begitu saja. Kita akan berusaha sekuat tenaga untuk tetap bisa mempertahankan pernikahan yang Anda bangun tersebut.

Dr. Hurley yang juga menulis kolom tentang isu ini menyatakan bahwa pasangan yang pernah hidup bersama terlebih dahulu sebelum menikah terancam resiko perceraian yang lebih besar daripada pasangan yang menikah tanpa hidup bersama terlebih dahulu. Sebuah penelitian statistik telah membuktikan hal tersebut!

Tidak Menikah Karena Faktor Ekonomi

Di Indonesia angka pasangan menikah di bawah tangan (tidak legal) tergolong tinggi. Biasanya kendala mereka adalah faktor ekonomi. Ini terlihat pada membludaknya peserta acara kawin massal yang diadakan sebanyak beberapa kali dalam satu tahunnya.

Iksan (34) dan Sofiia (21) sudah tinggal bersama selama dua tahun dan memiliki seorang putri. Mereka merasa sangat lega ketika akhirnya bisa mengesahkan ”perkawinan” mereka lewat kawin massal yang diadakan pada bulan Mei 2005.

Demikian pula pasangan Jaka Sukma dan Isyana, asal Desa Gandul, Cinere. Pasangan yang sudah hidup bersama selama 20 tahun, sudah mempunyai enam anak dewasa dan bercucu itu, mengikuti kawin masal karena gratis, mulai dari surat nikah, mas kawin, pakaian pengantin, sampai uang saku.

Kamto (72) seorang pemulung yang tinggal di Putat Jaya, Surabaya, telah hidup bersama dengan Artini (40) sejak tahun 1999, dan kini sudah memiliki anak berusia 7 tahun. ”Sebenarnya saya ingin sekali menikah secara legal, tapi tidak bisa karena dana yang pas-pasan,” demikian aku Kamto yang akhirnya menikahi istrinya pada bulan Maret, 2006.

(Check out this article on Editor's Choice Magazine Eds 8)

Friday, May 25, 2007

London Bridge, 2007

Entah sudah berapa lama aku berdiri di atas jembatan ini. Diam terpaku pada riak air sungai Thames yang tenang. Langit mulai memutih. Matahari menyapa dengan semburat sinar hangatnya yang bersahabat. Beberapa pejalan kaki mulai lalu lalang. Ini minggu pagi di kota London.
Tadi aku bangun jam 6 pagi. Meskipun ini bukanlah kebiasaan yang lazim dilakukan di sini, tapi sebagai orang Indonesia, aku sudah terbiasa bangun pagi. Ternyata mbak Yanti, seorang penulis dan konsultan, teman sekamarku juga sudah bangun.

"Kok, sudah bangun, Mbak?" sapaku. Mungkin aku sedikit terusik dengan keberadaannya. Bukan apa-apa. Aku sedang ingin menikmati pagi ini sendiri saja.

"Iya. Lapar. Bikin sandwich, yuk," katanya sambil menuju ke dapur. Tak lama kemudian terdengar bunyi aduan garpu, pisau, dan piring.

Aku sedang malas makan, meskipun mungkin di hari lain aku tak akan menolak sandwich di pagi buta. "Mbak, aku keluar dulu, ya." Tak ada jawaban. Mungkin mbak Yanti sedang terlalu sibuk dengan sandwichnya. Mungkin juga aku memang tidak niat pamit padanya, suaraku cuma cukup terdengar oleh dua telingaku saja.
Lalu aku pun berjalan ke luar apartemen. Dingin. Kurapatkan jaket trainingku. Aku berjalan tanpa tujuan, tapi mengarah pasti ke London Bridge. Jalanan yang kulalui bersih dan lengang. Mungkin karena masih pagi. Sebentar lagi setiap orang akan memulai kesibukan mereka masing-masing pada hari Minggu pagi.

Aku dan John paling suka menyusuri Tower of London sampai ke London Bridge.
"Dulu, para tawanan dilayarkan lewat situ," kata John suatu malam ketika kami melewati kanal-kanal tua dengan gerbang besi yang tinggi dan besar di bawah Tower of London. "Hidup atau mati," sambungnya.

Entah apa maksudnya. Tapi tiba-tiba saja aku merinding. Kanal yang lembab itu dinding-dindingnya dirambati tumbuhan benalu. Gerbang besinya yang berkarat masih kokoh meski dimakan tahun. Semuanya klasik. Tapi bagiku malam itu semuanya serba mistis.

Tiba-tiba dari dalam gerbang besi itu tampak sesosok hitam yang tinggi dan besar. Aku mengamati sosok itu dalam-dalam. Semakin kuamati, sosok itu semakin besar, dan aku semakin merinding. Aku memekik pelan, memunggungi pemandangan yang baru saja kusaksikan, kemudian mulai berlari kecil. John mengikuti, "Aria, ada apa?" Aku diam saja. Aku takut John menganggapku klenik. Tapi aku pun merasa harus memberikan alasan yang tepat atas tingkah lakuku tadi. Maka aku pun memutuskan untuk berkata jujur. "Aku baru saja melihat sosok tinggi besar dan hitam keluar dari kanal itu."

Tepat perkiraanku sebenarnya, John tertawa terbahak-bahak. Spontan mungkin, karena tak lama tawanya terpaksa reda setelah melihat raut wajahku yang pucat pasi kemudian memerah karena kesal. "Kamu pasti menganggapku mengada-ada," kataku.
"Itu hanya perasaanmu saja, Honey," katanya sambil menggamit pundakku. Seketika aku merasa tenang. Aku selalu merasa tenang bersamanya.
"Apakah kamu masih merasa merinding sekarang?" tanyanya kemudian.
"Tidak," kataku. "Mengapa?"
"That's strange. Aku kan mahluk yang sejenis dengan yang kamu lihat tadi," katanya dengan mimik yang diseram-seramkan, namun malah nampak konyol. Kontan saja kuremas pinggangnya dan dia mengaduh kesakitan.

Sungai Thames yang kebiru-biruan di bawah London Bridge masih beriak tenang. Aku memimpikan menikah di sini. Di London Bridge.
"Pernikahanku akan sangat romantis", kataku suatu hari. "Aku akan mengenakan baju pengantin layer berwarna krem serta sepatu tali berwarna putih. Pengantin laki-lakiku akan mengenakan jacket dan kemeja putih dengan shawl putih di lehernya. Kita akan jadi pengantin paling romantis pada sebuah pernikahan yang paling dramatis dan syahdu," ceritaku panjang lebar seperti kepada angin.
"Syahdu?" suara John samar-samar.
"Ya, syahdu. Oleh karena itu, tak perlu banyak orang yang datang. Cukup orang tua, keluarga, serta sahabat dekat saja," kataku.
"Yeah.. Bahkan, kalau perlu kita berdua saja, sang pengantin, disaksikan oleh Tuhan, dan London Bridge," timpal John.

Hubunganku dan John sudah berjalan hampir dua tahun. Aku ingat saat pertama kali kami bertemu. Saat itu aku dan beberapa orang teman sedang dikirim perjalanan dinas oleh kantor tempatku bekerja. Kami ditugaskan untuk mendatangi pameran buku di London dan Frankfurt untuk mencari buku-buku yang layak kami beli royaltinya, kemudian kami terbitkan di Indonesia. Kami juga berkunjung ke penerbitan besar setempat untuk saling bertukar pikiran dan cerita.

Setelah pameran, kami berempat; aku, Yanti, Susan, dan Lia, berjalan-jalan dari pusat perbelanjaan di London Bridge menuju hotel. Susan dan Lia berjalan di depan. Sedangkan aku mengikuti di belakang mereka bersama Yanti. Di tengah perjalanan, tampaklah sebuah motorcycle unik bermerk BMW. Motor itu dipasangi payung di atasnya. Warnanya hitam dan biru.

"It's really something, isn't it Mbak Yanti," ujarku pada mbak Yanti. Yang ditanya sepertinya sedang bermain dengan pikirannya sendiri. "Apa gunanya payung ini, ya? Kalau hujan pasti tetap saja kehujanan," celotehnya.

Ah, perhatianku semakin tertuju pada body motor yang kelihatan gagah itu. Aku meneliti, menyentuh, dan memain-mainkannya. Posisiku sedang berjongkok memperhatikan bagian mesin motor tatkala tiba-tiba saja pandanganku terhalang sesosok tubuh laki-laki. Ia sedang menenteng sebuah helm yang berwarna senada dengan motor unik tersebut. Tak salah lagi, laki-laki itu pasti si empunya motorcycle BMW.

Tak bisa tidak aku pun memandangi tubuh laki-laki tadi. Dari bawah ke atas. Ia memakai kemeja putih dengan celana dan jaket kulit berwarna hitam. Matanya biru langit, rambutnya gelap. Ia memakai kacamata minus. Ia tersenyum.

Tiba-tiba saja, aku merasa senggolan kencang di lenganku. "Aduh, Ri... Nih cowok ganteng banget. Sumpah, ganteng banget, Ri...," pekik mbak Yanti sambil terus menyenggol-nyenggol lenganku.
"Iya, iya...," kataku dengan kesal sambil balas menyenggolnya.

Mata kami sudah beradu. Sedetik, tapi rasanya kami sudah bertukar energi. Tiba-tiba saja aku merasa de javu. Aku merasa akrab dengannya. Aku seperti pernah mengenalnya. Tapi, di mana?
"Aku John," katanya sambil mengulurkan tangan. Ternyata laki-laki bermata biru itu bisa berbahasa Indonesia dengan fasih. Belakangan aku tahu bahwa John pernah hampir dua tahun tinggal di Jakarta dan belajar bahasa Indonesia.
"Aku Ariavita." Aku menyodorkan kartu namaku. "I'm an editor," sambungku untuk menutupi malu karena telah meneliti motorcyclenya. Setelah berjabat tangan, kami pun berlalu dengan malu. Namun setelah melewati perempatan jalan, aku dan mbak Yanti tak dapat menahan diri, cekikikan menertawai kebodohan diri sendiri. Setelah itu John mulai rutin menelponku.

"Aku ingin segera punya anak. Aku ingin punya anak sebanyak-banyaknya," kataku suatu hari ketika kami sedang duduk di bangku di sebuah taman kota di Jakarta. Sejak kami memutuskan untuk berhubungan serius, sesekali aku selalu menyempatkan diri datang ke London. Begitupun John, sesekali mengunjungi aku ke Jakarta.
"Aku bisa memberimu anak," timpal John. "They would have your beautiful skin and your curly black hair," sambungnya.
"And your blue eyes, of course," sahutku cepat.
"Enam bulan lagi usiaku tiga puluh tahun. You know, ketika masih gadis kecil, aku memimpikan punya anak saat usiaku dua puluh tahun," aku mulai bercerita. "Tapi tak apalah. Masih sempat. Kalau produktif, aku masih bisa punya lima anak sampai usiaku 35 tahun." Ini terdengar seperti sebuah pembelaan diri.
"Setahun satu?" tanyanya bingung.
"Yah," kataku tersenyum seakan semua nyata di depan mataku.
"Tapi kata orang, semakin sering berhubungan seks, akan semakin sulit hamil, lho. Justru, kalau jarang, malah semakin berkualitas," katanya tiba-tiba.
"Then we should rarely have sex," jawabku mantap. John pun memberangut.

Semakin siang, semakin banyak pejalan kaki yang bermain-main di London Bridge. Tanpa aku sadari, di sebelah kanan kiriku pun mulai ramai orang berdiri menontoni sungai Thames. Di bawah, beberapa perahu kecil mulai berlayar mengantarkan penumpangnya berekreasi menyusuri sungai.

Tiba-tiba saja aku merasakan getaran kuat di pinggangku. Ternyata berasal dari handphoneku yang menandakan masuknya sebuah pesan singkat.

Mariska
(Number Unknown)
Telah lahir dengan selamat putri pertama kami bernama Nabila Putri Agung. Mohon doanya supaya menjadi anak yang baik dan berbakti pada kedua orang tuanya. Amin.

Aaaarrrgghhh! Segera kuhapus pesan singkat itu. Maaf, Mariska. Bukan aku tidak ikut bersyukur atas kebahagiaanmu. Sejujurnya aku sangat bersyukur dan berbahagia. Kau adalah sahabat terbaikku. Tapi, maaf. Saat ini waktunya sangat tidak tepat. Aku sedang tidak bisa merasakan kebahagiaan. Aku terbenam. Semakin terbenam.

Minggu ini aku sudah mendapatkan tiga sms senada dari kawan-kawan baikku. Sms Mariska adalah yang keempat. Semua mengabarkan kebahagian. Kelahiran putra-putri mereka. Mereka semua adalah sahabat-sahabat terbaikku. Suatu kali, kami pernah berjanji untuk menikah dan punya anak-anak dalam waktu yang berdekatan. Kemudian kami akan sering mengadakan arisan. Maksudnya hanya supaya bisa sering bertemu. Anak-anak kami akan saling berkawan. Kami akan menjadi seperti satu keluarga besar yang akrab. Ah, itu semua hanya impian.

Kini, mereka sudah menikah semua. Kemudian punya anak. Punya keluarga bahagia. Mendahuluiku. Dua di antaranya aku yang mencomblangi. Ketika akan menikah, mereka mendatangiku, seperti minta restuku. Ketika punya anak, mereka mengabariku. Ketika aku tidak muncul-muncul, mereka mengirimiku pesan pendek. "Mama Aria, datang dong. Mama kangen. Ajeng". Ah, aku seperti tengah mimpi buruk. Sangat buruk.

Ddddrrrrtttt. Ddddrrrrttttt. Dddddrrrrrttttt. Handphoneku bergetar lagi.

My John
(Number Unknown)
Aria darling, kamu di mana? Kenapa kamu tidak pernah balas pesanku? Kenapa kamu tidak menjawab teleponku? Aria, please don't do this to me.

Ah, John. Biarkan semuanya begini. Lupakan aku. Biarkan aku sendiri.

Sungai Thames semakin ramai. Demikian pula London Bridge.Tiba-tiba semuanya tampak buram. Semakin lama, semakin gelap. Terdengar tawa riuh rendah itu. Setelah pesta. Sosok hitam itu. Semakin gelap. Tiba-tiba putih. Semua putih. Silau. Samar-samar terdengar suara,"Harus diangkat, Bu. Kalau tidak, bisa kanker rahim." Lalu gelap lagi. Lama. Aku hanya tak ingin tersadar lagi.

Jakarta, 23 Mei 2007

Wednesday, May 16, 2007

Will I Become Her Someday?

SEORANG DINI, SEORANG DIRI

Sekitar pukul setengah empat sore itu, cuaca kota Yogjakarta sangat bersahabat. Matahari bersinar dengan hangatnya, mengantarkan warna jingga ke bumi yang keabuan. Angin terasa lembut menyentuh wajahku yang sedang berada di atas sepeda motor. Sore itu kami sedang menuju ke kediaman Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, seorang penulis perempuan yang lebih dikenal dengan nama NH Dini. Aku sangat bersemangat karena aku akan bertemu seorang perempuan penulis Indonesia yang pada tahun 2003 mendapatkan SEA Write Awards atau sebuah penghargaan bagi para penulis ASEAN di Bangkok. Tapi jauh sebelumnya aku mengenalnya ketika membaca novel Pada Sebuah Kapal ketika SMA. Kala itu guruku membuatnya sebagai sebuah tugas. Sejenak kupejamkan mataku. Kutarik nafas panjang lalu kehembuskan perlahan. Kunikmati suatu sore di jalanan kecil kota Yogja yang mulai berdenyut menyambut datangnya malam.
“Bu, rumah jompo di mana ya?” Kami bertanya pada seorang ibu yang sedang menyapu pelataran rumahnya ketika kami sudah memasuki komplek kampus UGM (Universitas Gadjah Mada). Sebenarnya saat itu aku diantar oleh seorang teman penulis yang sedang menyelesaikan kuliahnya di salah satu universitas di kota pelajar itu, tapi ia tidak mengetahui di mana tepatnya rumah NH Dini. Yang kami tahu saat ini, perempuan penulis itu menghabiskan usia senjanya di sebuah komplek Graha Wredha Mulia, sebuah komplek yang dibuat khusus bagi para lansia di jalan Sendowo, di sekitar komplek UGM. Akhirnya kami pun memutuskan lebih aman untuk bertanya.
“Itu…,” kata ibu muda itu seraya menunjuk pada sebuah tembok tinggi yang berdiri di sebelah kanan rumahnya yang dipisahkan oleh sebuah gang kecil. “Di ujung sana ada becak kuning, belok ke kanan, nah masuk panti jomponya dari situ,” jelas ibu itu dengan bahasa Indonesia beraksen Jawa kental. Setelah mengangukkan kepala tanda mengerti, kami berjalan sesuai dengan petunjuknya, sambil tak lupa mengucapkan terima kasih. Mata kami tertuju pada becak kuning yang memang terlihat menonjol di pojok pertigaan jalan kecil itu. Tepat di depan becak kuning itu, kami berbelok ke kanan. Tak jauh dari belokan itu, di sebelah kanan tampaklah sebuah gerbang besi putih kecil-kecil. Di dalamnya sebuah rumah beratap segitiga merah dengan pintu besar di tengah dan dua jendela kaca besar di kanan kirinya langsung tertangkap oleh pandangan mata kami. Menatap rumah itu, aku seperti mendapat sebuah pencerahan, dan aku pun tersenyum lega.
“PONDOK BACA NH DINI”
Tulisan itu diukir di sebuah kayu berwarna coklat yang dipajang sebagai penanda di dinding rumah beratap segitiga itu. Ukiran yang tampak kecil dibandingkan rumah yang terlihat luas, terlebih karena cat tembok rumah itu berwarna putih, demikian pula lantai keramiknya.
Ini rumah bacanya NH Dini, kataku dalam hati. Aku mulai masuk. Bersih. Lemari-lemari dengan buku-buku yang tidak sesak menempel di dindingnya. Bangku-bangku panjang menghadapi meja-meja yang juga panjang. Sepi. Seperti layaknya sebuah perpustakaan. Hanya ada seorang anak perempuan kecil duduk sambil membaca. Ia mendongak ketika aku masuk. Hampir berjingkat aku berjalan menuju ke meja kecil di ujung yang berada segaris dengan pintu belakang yang terbuka. Di sana ada seorang perempuan penjaga perpustakaan, yang terakhir kutahu bernama Wiwik. Darinya aku tahu bahwa NH Dini tinggal di paviliun A2.
Paviliun yang dimaksudkan oleh penjaga perpustakaan itu terletak tak jauh dari perpustakaan. Tepatnya sekitar 50 meter di seberang perpustakaan. Meskipun demikian NH Dini tampaknya jarang berkunjung ke perpustakaannya. Ini kutahu dari tulisan seorang anak kelas V SD yang menulis tentang betapa senangnya ia dengan adanya Pondok Baca. Ia sangat berterima kasih karena NH Dini telah membuatkan perpustakaan tersebut, namun mengaku sedih karena tak pernah mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan penulis besar itu. Tulisan tangan itu dipajang di majalah dinding di dalam perpustakaan bersama dengan tiga tulisan lain.
Paviliun A2 berada pada urutan kedua dari barisan-barisan paviliun yang memanjang sampai ke ujung jalan. Di depannya adalah jalanan kecil yang tanahnya terbuat dari batako kecil. Sejenak aku tertegun di muka paviliun tersebut. Aku seperti akan masuk ke dalam rumah-rumahan yang aku idamkan sejak kecil sebagai tempat tinggalku dan bonekaku. Rumah itu terasa sejuk, asri, dan alami. Bagian depan rumahnya dipenuhi oleh pot-pot berisi tanaman hias, ada yang digantung, ada pula yang diletakkan di bawah. Demikian banyaknya sehingga memberikan suasana rimbun pada paviliun tersebut. Dari depan kulihat siluet perempuan tua berperawakan segar sedang duduk dengan punggung membungkuk sambil menyulam. Aku bertanya-tanya apakah ini perempuan penulis yang sedang kucari itu?
“Selamat sore. Bu Dini?” Sapaku kepada perempuan pemilik rumah-rumahan idamanku itu. Aku merasa seperti anak kecil di dalam alam mimpiku. Dengan memeluk boneka di tangan kiriku, aku bertamu ke rumah kue Hansel dan Gretel. Atau aku adalah si kerudung merah yang sedang berkunjung ke rumah nenek. “Ya? Masuk…,” Suara tegas perempuan tua yang sedang mengernyitkan dahi karena kebingungan itu membuatku tersadar. Aku tidak sedang menggendong boneka di tangan kiriku, tapi sebuah tas berat yang di dalamnya berisi buku catatanku, tape recorder, dan kamera saku. Peralatan standar seorang reporter kalau akan mewawancarai seseorang.
Ibu tua yang kucari itu berdiri kemudian membukakan pagar berwarna coklat tua yang membatasiku dengannya. Tinggi pagar itu hanya sedikit melewati tungkaiku. Sebelum masuk, aku sempat memerhatikan wajah perempuan tua yang berdiri di hadapanku. Ketika itu aku yakin, ini pasti NH Dini, penulis yang banyak mengangkat masalah pendobrakan perempuan pada tatanan stereotip ideal versi masyarakat patriarkal lewat novel-novelnya. Wajahnya kuingat di foto yang ada di sampul belakang bukunya. Ia, perempuan muda dengan semangat yang bergelora dalam foto hitam putih itu. Tersenyum genit sambil memeluk seekor kucing angora. Kini wajah cantik itu masih tergambar pada raut wajah perempuan tua berdaster biru dengan motif kembang putih di hadapanku. Hanya saja kini senyumannya lebih miris, lebih sinis, serta penuh dengan goresan kekecewaan.
Aku duduk di bangku yang ditunjukkan NH Dini kepadaku. Bangkunya terasa lebih pendek dari ukuran biasanya, sampai hampir saja aku bisa memeluk lututku. “Sedikit panas…,” katanya. Mungkin karena ia melihat aku duduk tepat pada bagian bangku yang terkena sinar matahari sore. Tak apa, tidak panas. Malah terasa hangat, kataku dalam hati. “Siapa ya…,” tanyanya lagi. Tampaknya ia masih bingung dengan keberadaanku. Aku mulai menjelaskan. Aku katakan bahwa aku adalah reporter majalah Ibumi, yang sedang lawatan ke Yogjakarta dan sengaja datang untuk menemui perempuan penulis besar, NH Dini. Ketika aku sedang menjelaskan, ia mengambil sulamannya dari meja bundar di depannya kemudian melanjutkan menyulam.
“Sedang buat apa, Bu?” tanyaku padanya karena melihat ia sangat serius menyulam, sampai mengabaikanku. “Ini untuk tutup magic jar. Selain itu saya juga membuat tamplak meja, dan lain-lain,” katanya sambil meletakkan sulamannya yang berbentuk bulat di meja. Tak sengaja mataku mengikuti sulaman tersebut dan baru menyadari bahwa saat itu ia sedang menyulam aksen bunga warna-warni di bagian pinggir, sedangkan di bagian lain tampak gambar bunga kecil-kecil dari pensil. Kemudian ia bercerita bahwa menyulam adalah kegiatan rutinnya saat ini. Selain itu ia juga menanam tanaman-tanaman hias, seperti tanaman perdu yang ia dapatkan dari seorang kawan yang tinggal di luar negeri, kemudian ia kembangkan dan ia jual. Semua itu ia lakukan, selain untuk membunuh waktu, juga untuk mendapatkan penghasilan. Oh, jadi tanaman hias yang membuat rumah itu demikian rimbun adalah untuk dijual, pikirku. Kemudian ia menjelaskan bahwa saat ini ia menopang hidupnya dengan uang penghasilan yang didapatnya dari menjual sulaman dan tanaman hiasnya. Meskipun ia tak bisa berharap banyak dari situ karena tak banyak yang tahu mengenai ‘jualan’nya itu. Ia hanya mengandalkan perbincangan teman-temannya saja. Ia pernah berpikir untuk membuat pameran, namun hal itu terhalang dengan keterbatasan ekonomi.
“Lebih baik tak usah mewawancarai saya,” katanya tiba-tiba. Ia memandang lurus ke mataku. “Sekarang kan banyak penulis-penulis muda. Lebih baik mewawancarai mereka saja. Untuk apa mewawancarai saya? Mereka tak pernah mengundang saya kalau ada diskusi-diskusi atau seminar-seminar. Dan itu lebih baik. Saya lebih senang begini.” Aku tertegun. Aku tak siap dengan reaksinya yang sedemikian tiba-tiba. “Bu…,” aku berusaha menjelaskan. “Panggil saya Eyang,” katanya memotong.
“Eyang,” aku menurutinya. “Saya datang ke Yogjakarta ingin sekali bertemu dengan Eyang, seorang penulis besar.”
“Tapi saya tidak mau diwawancara. Saya hanya seorang penulis. Saya hidup dari menulis. Kemarin saya habis operasi kaki. Itupun Gubernur Semarang yang membiayai, bukan Sultan. Sebab saya lahir di Semarang,” lanjutnya sambil menunjuk lututnya.
“Osteoporosis?” tanyaku.
“Yah, semacam itulah. Pengeroposan tulang,” jawabnya.
“Cara kerja kalian, wartawan muda, memang seperti itu. Saya tidak suka,” ia melanjutkan. Aku tak bisa berkata-kata. Kupandangi ibu dari Marie-Claire Lintang dan Pierre-Louis Padang itu dalam-dalam. Masih terlihat sangat cantik di usianya yang senja, meski sederhana, tanpa sepoles pun make up menempel di wajahnya.
“Seperti wartawan dari sebuah media di Jakarta. Mereka mengikuti saya terus ketika belum lama ini saya berangkat ke Jakarta untuk rapat bersama Akademi Jakarta. Saya bingung. Lalu saya bertanya untuk apa mereka mengikuti saya. Ternyata mereka ingin mewawancara saya, tapi dengan cara mengekor dengan media lain. Sedangkan media lain itu sudah jelas. Mereka setiap hari mensuplai surat kabar untuk Pondok Baca. Selain itu mereka juga memberi saya amplop.” Sampai di situ tiba-tiba saya mengerti arah pembicaraan itu. Masalah ekonomi memang sewajarnya menjadi permasalahan utama yang mengemuka bagi seorang penulis perempuan berusia senja yang hidup sendiri.
“Biaya hidup saya semakin berat. Uang Uang obat saja sudah mahal. Apalagi sekarang dokter memberi saya makanan tambahan. Itu artinya tambah biaya.” Aku tertunduk. Aku merasa sangat menyesal datang tanpa membawa buah tangan apapun bagi penulis yang kukagumi itu.
“Belum lama ini wartawan dari sebuah stasiun TV juga datang ke sini. Tanpa pemberitahuan apapun mereka datang berenam dengan peralatan kamera, tripod, pokoknya lengkap. Saya kaget. Saya tanya ‘ada apa ini’. Mereka menjelaskan bahwa mereka ingin mengangkat profil saya untuk Hari Kartini. Saya marah-marah. Tidak bisa caranya begitu. Saya menolak. Akhirnya mereka pulang sia-sia.”
“Kalau kalian mewawancarai penulis muda boleh caranya begitu. Tapi kalau saya? Darimana saya hidup kalau caranya demikian. Saya cuma hidup dari menulis. Sastrawan lain masih ada yang mengangkat. Seperti Taufik Ismail. Karya-karyanya dinyanyikan oleh Bimbo. Jadi orang tak akan lupa,” N.H. Dini melanjutkan keluhannya.
“Tapi buku Eyang kan dicetak ulang terus,” kataku.
“Ya. Coba kamu lihat saja di toko buku. Ah, tapi saya sudah bosan berharap. Memang setiap setengah tahun sekali saya mendapatkan uang royalti. Banyaknya 7 juta rupiah. Tapi untuk uang kontrakan saja sudah 6,5 juta pertahun, belum lagi uang listrik, dan air. Lalu saya juga harus menyisihkan uang setiap bulannya untuk Pondok Baca,” tandasnya.
“Tapi Eyang masih menulis terus kan? Kapan rencananya akan meluncurkan buku lagi setelah Dari Fontenay ke Magalianes terbit tahun lalu?”
“Yah, saya berusaha untuk menulis terus. Saya membiasakan diri untuk berada di depan komputer minimal dua kali seminggu. Selain itu saya juga selalu berusaha untuk menambah wawasan saya dengan banyak membaca, dan menonton berita di televisi. Saya juga suka nonton bioskop, dan biasanya ketika saya jalan-jalan sering kali saya menemukan ide untuk suatu cerita. Entah dari percakapan dua remaja atau apapun. Biasanya kalau ide itu muncul saya langsung mencatatnya ke buku catatan yang selalu saya bawa.”
NH Dini terkenal sebagai penulis paling produktif pada tahun 1970-an. Hingga kini pun perempuan yang cerpen pertamanya dimuat di majalah Gadjah Mada dan Budaya pada tahun 1952 masih banyak dicari oleh penerbit. Novel-novelnya pun masih sering muncul jadi bahan perbincangan. Banyak karyanya mengalami cetak ulang. Misalnya, novel Pertemuan Dua Hati, yang dicetak tahun 1986, hingga kini telah mengalami cetak ulang ke-13. Atau novelnya, Pada Sebuah Kapal, yang disebut-sebut sangat feminis itu, telah memasuki tahun cetak kedelapan.
Meskipun kekecewaan yang dalam pada nada suara perempuan penulis puluhan novel laris ini, namun idealismenya tak juga surut. Perempuan kelahiran Semarang, 29 Februari 1936 ini selalu siap untuk membimbing penulisan skripsi para mahasiswa, atau siswa SMA yang datang setidaknya tiga sampai empat kali dalam seminggu. Selain itu, ia juga membuat kegiatan seperti Lomba Menulis untuk anak-anak di Pondok Baca. Ia ingin sekali menanamkan budaya membaca pada anak-anak, karena ia sendiri besar di lingkungan yang gemar membaca. Bahkan ia masih menyempatkan diri untuk datang ke Jakarta setiap sebulan sekali untuk menghadiri rapat Akademi Jakarta. “Paling tidak selama empat hari,” katanya.
Dengan aktivitas yang padat itu, NH Dini mengimbanginya dengan kegiatan yang disebutnya ‘merawat diri’. “Berkebun bagi saya adalah sarana untuk berolahraga. Dengan merawat tanaman, tubuh saya bergerak, seperti menunduk, membungkuk, atau membelok. Selain itu saya juga harus merawat diri saya sendiri, salah satunya adalah dengan makan teratur dan tidur teratur. Nah, sekarang saya harus merawat diri. Saya harus makan tepat jam 6 sore, setelah itu makan obat,” katanya mengakhiri perbincangan kami.
Aku pun beranjak meninggalkan rumah NH Dini dan juga meninggalkan kota Yogyakarta dengan menyimpan kesan mendalam tentang masa tua seorang penulis kawakan. Tak bisa tidak aku pun mulai mempertanyakan apakah nasib tuaku akan seperti Dini jika kumemilih menggantungkan hidup pada pekerjaan menulis? Sedangkan terkadang menulis tidak muncul karena ekonomi semata. Terkadang aku menulis karena aku jatuh cinta pada menulis. Aku yakin demikian pula dengan Dini yang telah mencatatkan berbagai cerita yang ditemukannya dalam perjalanan hidupnya pada novel-novelnya. Tetapi ketika suatu saat masalah ekonomi mau tidak mau mengemuka, maka bukanlah hanya kewajibannya untuk mempertahankan hidupnya. Tetapi menjadi kewajiban kita semua untuk menyejahterakan hidupnya.
Bukankah pekerjaan penulis adalah mulia? Secara langsung maupun tidak langsung mengedukasi masyarakat. Lalu mengapa kebanyakan penulis Indonesia tidak dapat menggantungkan hidupnya semata pada pekerjaan menulisnya? Mengapa mereka malah bekerja di tempat lain dan menjadikan pekerjaan menulis sebagai pekerjaan sampingannya saja? Mengapa penulis Indonesia tidak dapat kaya raya karena menulis karya, seperti yang terjadi pada penulis-penulis luar negeri? Sudah saatnya kita mulai menengok kehidupan para penulis Indonesia, dan setidaknya menjamin kesejahteraan mereka sehingga setidaknya mereka bisa berbangga diri menjadi penulis Indonesia dan terus berkarya untuk Indonesia. Tidak seperti Seorang Dini, yang kini seorang diri.

TO BE SUPERSTITIOUS OR NOT TO BE SUPERSTITIOUS

"Takhayul adalah puisi kehidupan," kata seorang penulis dari Jerman, Johann Wolfgang von Goethe. Di sisi lain, "Takhayul hanyalah untuk orang-orang yang berpikiran lemah." Itu kata pemikir asal Inggris, Edmund Burke. Pilih yang mana?

Sampai saat ini ternyata masalah mitos dan takhayul masih melekat pada kehidupan sehari-hari kita, kaum masyarakat yang katanya berpikiran modern dan hidup di kota megapolitan seperti Jakarta. Buktinya masih banyak juga yang mempercayai, dan menjalankan suatu takhayul atau mitos tertentu.

Coba saja, setiap bulan saat membeli sebuah majalah baru, pertama kali yang kita baca adalah ramalan horoskopnya. Mungkin memang buat lucu-lucuan saja, tapi secara sadar ataupun tidak, kita mencocokkan ramalan tersebut dengan keadaan kita saat ini. Kalau baik kita senang, sebaliknya, kalau tidak cocok atau ramalannya buruk, kita akan melecehkan. Intinya, mau percaya atau tidak, tapi ritual membaca ramalan ini menandakan bahwa kita sebagai masyarakat perkotaan yang notabene berpikiran modern masih cenderung superstitious, atau percaya takhayul.

Sebenarnya, salah atau tidakkah menjadi superstitious itu? Atau kalau ini bukan masalah salah atau benar, bijak atau tidak sih mengikuti sisi lain diri yang cenderung percaya pada hal-hal yang bersifat gaib atau mistis, yang terkadang tidak bisa diterima logika? Sedangkan mungkin sejak kecil, kita akrab dengan hal-hal yang berbau mitos yang entah dapat dibuktikan atau tidak, namun kerap kali nyata adanya.

Yati Utoyo Lubis, seorang psikolog di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa superstitious behaviour atau prilaku takhayul disebabkan oleh adanya kepercayaan yang sudah sangat melekat, kemudian diturunkan secara turun temurun, sehingga menciptakan mitos yang sulit dilanggar. Kemudian ada sikap menghindar dari hukuman atau avoidance learning dengan cara mengikuti pantangan yang dianjurkan. Siapa sih yang berani memukul binatang saat istri sedang hamil, bila ancamannya anak yang di dalam kandungan bisa cacat? Akhirnya, mau percaya atau tidak, ya sudah diikuti saja. Daripada kualat. Iya, kan?

Teori yang kedua adalah teori psikoanalisa. Menurut teori ini kita terlahir dengan membawa ketidaksadaran kolektif yang isinya adalah segala kepercayaan turun temurun dari nenek moyang yang menyebabkan kita sering berlaku superstitious..

Takhayul sebagai Bagian dari Gaya Hidup
Bagi kita, terutama orang Indonesia, tampaknya segala macam bentuk ramalan, seperti ramalan horoskop, numerologi, shio, feng shui, kartu tarot, primbon, dan lain-lain, akrab dengan kehidupan sehari-hari. Setiap hal cenderung dihubung-hubungkan dengan ramalan tertentu.

”Kebudayaan, sosial kemasyarakatan, dan nilai historikal dalam suatu suku atau bangsa sangat berpengaruh terhadap terbentuknya suatu mitos tertentu. Namun, sering kali ada misunderstanding terhadap makna mitos. Padahal sebenarnya mitos dan takhayul adalah filosofi yang sudah ada sejak lama di dunia ini. Tentang filsafat dan falsafah hidup. Namun, sekarang hal-hal seperti itu dianggap klenik atau tidak masuk akal, karena pemahaman orang sekarang yang penuh logika,” kata Feri Purwo Leksono Putro, seorang paranormal yang mulai naik daun.

”Bila kita memahami dikotominya, hal-hal seperti ini bisa menjadi analogi yang masuk akal. Seperti ketika orang menikah, kita mencari hari baik atau tanggal baik. Sebetulnya yang dilakukan bukanlah pembuktian bahwa ada hari-hari baik, dan ada hari-hari tidak baik. Sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang tahun itu sebetulnya selalu baik, tapi tidak semua orang pada hari tersebut, di bulan tersebut, tahun tersebut baik. Jadi sebetulnya pedeteksiannya lebih personal. Cuma selama ini seakan-akan kita mendeteksi harinya. Padahal yang dideteksi adalah orangnya,” lanjut Feri yang punya motto relijius, intelektual, dan metafisik. Maksudnya sesuatu yang metafisik tidak selalu bertentangan dengan agama apapun, dan bisa diterima oleh kaum intelektual yang berpikiran rasional.

Penyakitnya Perempuan
Biasanya kaum perempuan memiliki insight yang lebih dalam mengenai hal-hal yang bersifat metafisik daripada laki-laki. Feri Purwo yang biasa meramal lewat nama dan tanggal lahir mengakui hal tersebut. Menurutnya, karena kaum perempuan lebih mengandalkan sisi perasaan. Makanya ketika ia punya masalah, ia akan berusaha untuk mendapatkan ketenangan dan jawaban lewat metafisik. Selain itu, perempuan juga punya tingkat keingintahuan dan rasa penasaran yang tinggi. Sehingga jika ia bisa mengetahui hal-hal untuk beberapa waktu ke depan, ia akan lebih merasa mendapat kejelasan. ”Setiap orang yang datang ke saya itu punya masalah, tapi sebenarnya mereka juga sudah punya solusinya. Cuma mereka tidak yakin pada solusi mereka, dan butuh penegasan dan supporting dari saya,” kata Feri yang memiliki lebih banyak ’pasien’ perempuan daripada laki-laki.

Meskipun hal seperti di atas kerap dialami oleh kaum perempuan, namun sebenarnya ini juga dialami oleh laki-laki. Seperti diakui oleh Yus, redaktur sebuah koran harian di Jakarta. ”Istri saya sangat percaya pada hal-hal yang mistis. Dia selalu mengingatkan saya untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang menurut keyakinannya. Sebenarnya saya tidak terlalu percaya, tapi akhirnya saya ikuti juga. Takut. Kalau orang Jawa bilang, kolomengo.”