"Takhayul adalah puisi kehidupan," kata seorang penulis dari Jerman, Johann Wolfgang von Goethe. Di sisi lain, "Takhayul hanyalah untuk orang-orang yang berpikiran lemah." Itu kata pemikir asal Inggris, Edmund Burke. Pilih yang mana?
Sampai saat ini ternyata masalah mitos dan takhayul masih melekat pada kehidupan sehari-hari kita, kaum masyarakat yang katanya berpikiran modern dan hidup di kota megapolitan seperti Jakarta. Buktinya masih banyak juga yang mempercayai, dan menjalankan suatu takhayul atau mitos tertentu.
Coba saja, setiap bulan saat membeli sebuah majalah baru, pertama kali yang kita baca adalah ramalan horoskopnya. Mungkin memang buat lucu-lucuan saja, tapi secara sadar ataupun tidak, kita mencocokkan ramalan tersebut dengan keadaan kita saat ini. Kalau baik kita senang, sebaliknya, kalau tidak cocok atau ramalannya buruk, kita akan melecehkan. Intinya, mau percaya atau tidak, tapi ritual membaca ramalan ini menandakan bahwa kita sebagai masyarakat perkotaan yang notabene berpikiran modern masih cenderung superstitious, atau percaya takhayul.
Sebenarnya, salah atau tidakkah menjadi superstitious itu? Atau kalau ini bukan masalah salah atau benar, bijak atau tidak sih mengikuti sisi lain diri yang cenderung percaya pada hal-hal yang bersifat gaib atau mistis, yang terkadang tidak bisa diterima logika? Sedangkan mungkin sejak kecil, kita akrab dengan hal-hal yang berbau mitos yang entah dapat dibuktikan atau tidak, namun kerap kali nyata adanya.
Yati Utoyo Lubis, seorang psikolog di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa superstitious behaviour atau prilaku takhayul disebabkan oleh adanya kepercayaan yang sudah sangat melekat, kemudian diturunkan secara turun temurun, sehingga menciptakan mitos yang sulit dilanggar. Kemudian ada sikap menghindar dari hukuman atau avoidance learning dengan cara mengikuti pantangan yang dianjurkan. Siapa sih yang berani memukul binatang saat istri sedang hamil, bila ancamannya anak yang di dalam kandungan bisa cacat? Akhirnya, mau percaya atau tidak, ya sudah diikuti saja. Daripada kualat. Iya, kan?
Teori yang kedua adalah teori psikoanalisa. Menurut teori ini kita terlahir dengan membawa ketidaksadaran kolektif yang isinya adalah segala kepercayaan turun temurun dari nenek moyang yang menyebabkan kita sering berlaku superstitious..
Takhayul sebagai Bagian dari Gaya Hidup
Bagi kita, terutama orang Indonesia, tampaknya segala macam bentuk ramalan, seperti ramalan horoskop, numerologi, shio, feng shui, kartu tarot, primbon, dan lain-lain, akrab dengan kehidupan sehari-hari. Setiap hal cenderung dihubung-hubungkan dengan ramalan tertentu.
”Kebudayaan, sosial kemasyarakatan, dan nilai historikal dalam suatu suku atau bangsa sangat berpengaruh terhadap terbentuknya suatu mitos tertentu. Namun, sering kali ada misunderstanding terhadap makna mitos. Padahal sebenarnya mitos dan takhayul adalah filosofi yang sudah ada sejak lama di dunia ini. Tentang filsafat dan falsafah hidup. Namun, sekarang hal-hal seperti itu dianggap klenik atau tidak masuk akal, karena pemahaman orang sekarang yang penuh logika,” kata Feri Purwo Leksono Putro, seorang paranormal yang mulai naik daun.
”Bila kita memahami dikotominya, hal-hal seperti ini bisa menjadi analogi yang masuk akal. Seperti ketika orang menikah, kita mencari hari baik atau tanggal baik. Sebetulnya yang dilakukan bukanlah pembuktian bahwa ada hari-hari baik, dan ada hari-hari tidak baik. Sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang tahun itu sebetulnya selalu baik, tapi tidak semua orang pada hari tersebut, di bulan tersebut, tahun tersebut baik. Jadi sebetulnya pedeteksiannya lebih personal. Cuma selama ini seakan-akan kita mendeteksi harinya. Padahal yang dideteksi adalah orangnya,” lanjut Feri yang punya motto relijius, intelektual, dan metafisik. Maksudnya sesuatu yang metafisik tidak selalu bertentangan dengan agama apapun, dan bisa diterima oleh kaum intelektual yang berpikiran rasional.
Penyakitnya Perempuan
Biasanya kaum perempuan memiliki insight yang lebih dalam mengenai hal-hal yang bersifat metafisik daripada laki-laki. Feri Purwo yang biasa meramal lewat nama dan tanggal lahir mengakui hal tersebut. Menurutnya, karena kaum perempuan lebih mengandalkan sisi perasaan. Makanya ketika ia punya masalah, ia akan berusaha untuk mendapatkan ketenangan dan jawaban lewat metafisik. Selain itu, perempuan juga punya tingkat keingintahuan dan rasa penasaran yang tinggi. Sehingga jika ia bisa mengetahui hal-hal untuk beberapa waktu ke depan, ia akan lebih merasa mendapat kejelasan. ”Setiap orang yang datang ke saya itu punya masalah, tapi sebenarnya mereka juga sudah punya solusinya. Cuma mereka tidak yakin pada solusi mereka, dan butuh penegasan dan supporting dari saya,” kata Feri yang memiliki lebih banyak ’pasien’ perempuan daripada laki-laki.
Meskipun hal seperti di atas kerap dialami oleh kaum perempuan, namun sebenarnya ini juga dialami oleh laki-laki. Seperti diakui oleh Yus, redaktur sebuah koran harian di Jakarta. ”Istri saya sangat percaya pada hal-hal yang mistis. Dia selalu mengingatkan saya untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang menurut keyakinannya. Sebenarnya saya tidak terlalu percaya, tapi akhirnya saya ikuti juga. Takut. Kalau orang Jawa bilang, kolomengo.”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment