Thursday, May 31, 2007

Living Together Before Marriage, Pro and Cons

Meskipun masih sembunyi-sembunyi dan tidak terang-terangan, gaya hidup “living together before marriage” atau hidup bersama tanpa menikah sudah semakin banyak dilakukan di Indonesia.

Sayangnya, penganut gaya hidup yang diadopsi dari budaya Barat ini banyak yang tidak menyadari untung dan ruginya melakukan ini. Sebagian besar melakukannya tanpa pikir panjang dan hanya sekedar untuk senang-senang saja. Seperti yang diakui pasangan Citra dan Reja. ”Kami menyewa rumah untuk tinggal bersama. Tapi seringnya yang tinggal di rumah itu cuma Reja. Saya masih bolak-balik pulang ke rumah orang tua,” kata Citra yang belum tahu kapan akan menikah, karena masih sibuk dengan karir masing-masing.

Sedikit berbeda dengan Citra dan Reja, pasangan Wiwid dan Nanang sudah lama hidup bersama, tapi belum menikah karena orang tua mereka tidak mengijinkan. ”Sebagai anak yang baik, kami masih menunggu restu orang tua untuk menikah,” begitu kata Nanang, 30 tahun.

”Tapi sambil menunggu, kami juga tetap maju sendiri. Dari hasil kami bekerja, kami patungan mengkredit rumah,” jelas Wiwid yang bertemu dengan Nanang di sebuah hotel berbintang lima di Jakarta, tempat mereka bekerja. ”Yang lucu adalah tetangga berpikir kami memang sudah suami istri beneran. Setiap bulan kalau ada arisan bulanan, saya selalu diundang,” lanjutnya sambil tertawa.

Bagi banyak pasangan, hidup bersama tanpa menikah adalah sebuah “test drive” untuk menjajaki sampai di mana kesiapan mereka untuk menikah. Pertimbangannya, bila mereka bisa “hidup bersama” dengan akur dan bahagia, artinya pernikahan mereka pun akan berjalan mulus-mulus saja.

Selain itu, “hidup bersama” dianggap sebagai sebuah alternatif untuk bisa selalu bersama pasangan, tanpa merasa terperangkap oleh suatu ikatan pernikahan. Karena tidak ada pernikahan, saat ada ketidakcocokan di antara keduanya, mereka bisa ‘putus’ begitu saja, tanpa harus menjalani prosedur perceraian yang berbelit-belit.

Inilah salah satu fenomena yang terjadi di masyarakat kota Jakarta saat ini. Tentu saja, memutuskan untuk hidup bersama tanpa menikah adalah sepenuhnya otoritas pasangan yang bersangkutan. Namun, sebelum memutuskan, ada baiknya menimbang-nimbang terlebih dahulu. Bagaimanapun, hidup atau tinggal bersama dengan seseorang tanpa menikah memiliki resiko yang sama dengan menikah, tapi dengan perlindungan yang lebih minimal.

Mengapa hidup bersama?
Dr. Harley, seorang psikolog yang khusus memperhatikan masalah ini di Wales, Inggris, menyatakan bahwa alasan terutama orang hidup bersama tanpa menikah adalah karena ketakutan akan sebuah komitmen. Artinya orang itu ingin memastikan apakah pasangannya adalah orang yang tepat untuk menjadi teman hidup selamanya. Ia pun ingin memastikan bagaimana rasanya hidup berkeluarga bersamanya sebelum akhirnya benar-benar berkomitmen menikah dengannya.

Masalahnya, menurut Dr. Harley, hidup bersama tetap saja berbeda dengan menikah. Jadi, Anda tidak akan benar-benar tahu rasanya menikah, bila Anda tidak benar-benar menikah. Bila saat ini Anda sedang mencoba-coba apakah pasangan adalah pasangan yang tepat, dan apakah Anda telah benar-benar siap untuk menikah, kemudian ternyata hubungan Anda tidak berhasil dengannya, artinya tes Anda gagal, dan Anda pun berpisah. ’Putus’.

Tidak demikian dengan menikah. Menikah membutuhkan keberanian yang lebih dari itu. Bila menikah, kita harus menerima pasangan, baik dan buruknya, kelebihan dan kekurangannya. Bila suatu saat ada ketidakcocokkan di antara kedua pasangan, pernikahan tidak bisa dibatalkan begitu saja. Kita akan berusaha sekuat tenaga untuk tetap bisa mempertahankan pernikahan yang Anda bangun tersebut.

Dr. Hurley yang juga menulis kolom tentang isu ini menyatakan bahwa pasangan yang pernah hidup bersama terlebih dahulu sebelum menikah terancam resiko perceraian yang lebih besar daripada pasangan yang menikah tanpa hidup bersama terlebih dahulu. Sebuah penelitian statistik telah membuktikan hal tersebut!

Tidak Menikah Karena Faktor Ekonomi

Di Indonesia angka pasangan menikah di bawah tangan (tidak legal) tergolong tinggi. Biasanya kendala mereka adalah faktor ekonomi. Ini terlihat pada membludaknya peserta acara kawin massal yang diadakan sebanyak beberapa kali dalam satu tahunnya.

Iksan (34) dan Sofiia (21) sudah tinggal bersama selama dua tahun dan memiliki seorang putri. Mereka merasa sangat lega ketika akhirnya bisa mengesahkan ”perkawinan” mereka lewat kawin massal yang diadakan pada bulan Mei 2005.

Demikian pula pasangan Jaka Sukma dan Isyana, asal Desa Gandul, Cinere. Pasangan yang sudah hidup bersama selama 20 tahun, sudah mempunyai enam anak dewasa dan bercucu itu, mengikuti kawin masal karena gratis, mulai dari surat nikah, mas kawin, pakaian pengantin, sampai uang saku.

Kamto (72) seorang pemulung yang tinggal di Putat Jaya, Surabaya, telah hidup bersama dengan Artini (40) sejak tahun 1999, dan kini sudah memiliki anak berusia 7 tahun. ”Sebenarnya saya ingin sekali menikah secara legal, tapi tidak bisa karena dana yang pas-pasan,” demikian aku Kamto yang akhirnya menikahi istrinya pada bulan Maret, 2006.

(Check out this article on Editor's Choice Magazine Eds 8)

1 comment:

Anonymous said...

tuberculosis relentlessly proceeds unsolicited unichem dheeraj foreground ceremony flooroxford faithfully mild
lolikneri havaqatsu