Friday, May 25, 2007

London Bridge, 2007

Entah sudah berapa lama aku berdiri di atas jembatan ini. Diam terpaku pada riak air sungai Thames yang tenang. Langit mulai memutih. Matahari menyapa dengan semburat sinar hangatnya yang bersahabat. Beberapa pejalan kaki mulai lalu lalang. Ini minggu pagi di kota London.
Tadi aku bangun jam 6 pagi. Meskipun ini bukanlah kebiasaan yang lazim dilakukan di sini, tapi sebagai orang Indonesia, aku sudah terbiasa bangun pagi. Ternyata mbak Yanti, seorang penulis dan konsultan, teman sekamarku juga sudah bangun.

"Kok, sudah bangun, Mbak?" sapaku. Mungkin aku sedikit terusik dengan keberadaannya. Bukan apa-apa. Aku sedang ingin menikmati pagi ini sendiri saja.

"Iya. Lapar. Bikin sandwich, yuk," katanya sambil menuju ke dapur. Tak lama kemudian terdengar bunyi aduan garpu, pisau, dan piring.

Aku sedang malas makan, meskipun mungkin di hari lain aku tak akan menolak sandwich di pagi buta. "Mbak, aku keluar dulu, ya." Tak ada jawaban. Mungkin mbak Yanti sedang terlalu sibuk dengan sandwichnya. Mungkin juga aku memang tidak niat pamit padanya, suaraku cuma cukup terdengar oleh dua telingaku saja.
Lalu aku pun berjalan ke luar apartemen. Dingin. Kurapatkan jaket trainingku. Aku berjalan tanpa tujuan, tapi mengarah pasti ke London Bridge. Jalanan yang kulalui bersih dan lengang. Mungkin karena masih pagi. Sebentar lagi setiap orang akan memulai kesibukan mereka masing-masing pada hari Minggu pagi.

Aku dan John paling suka menyusuri Tower of London sampai ke London Bridge.
"Dulu, para tawanan dilayarkan lewat situ," kata John suatu malam ketika kami melewati kanal-kanal tua dengan gerbang besi yang tinggi dan besar di bawah Tower of London. "Hidup atau mati," sambungnya.

Entah apa maksudnya. Tapi tiba-tiba saja aku merinding. Kanal yang lembab itu dinding-dindingnya dirambati tumbuhan benalu. Gerbang besinya yang berkarat masih kokoh meski dimakan tahun. Semuanya klasik. Tapi bagiku malam itu semuanya serba mistis.

Tiba-tiba dari dalam gerbang besi itu tampak sesosok hitam yang tinggi dan besar. Aku mengamati sosok itu dalam-dalam. Semakin kuamati, sosok itu semakin besar, dan aku semakin merinding. Aku memekik pelan, memunggungi pemandangan yang baru saja kusaksikan, kemudian mulai berlari kecil. John mengikuti, "Aria, ada apa?" Aku diam saja. Aku takut John menganggapku klenik. Tapi aku pun merasa harus memberikan alasan yang tepat atas tingkah lakuku tadi. Maka aku pun memutuskan untuk berkata jujur. "Aku baru saja melihat sosok tinggi besar dan hitam keluar dari kanal itu."

Tepat perkiraanku sebenarnya, John tertawa terbahak-bahak. Spontan mungkin, karena tak lama tawanya terpaksa reda setelah melihat raut wajahku yang pucat pasi kemudian memerah karena kesal. "Kamu pasti menganggapku mengada-ada," kataku.
"Itu hanya perasaanmu saja, Honey," katanya sambil menggamit pundakku. Seketika aku merasa tenang. Aku selalu merasa tenang bersamanya.
"Apakah kamu masih merasa merinding sekarang?" tanyanya kemudian.
"Tidak," kataku. "Mengapa?"
"That's strange. Aku kan mahluk yang sejenis dengan yang kamu lihat tadi," katanya dengan mimik yang diseram-seramkan, namun malah nampak konyol. Kontan saja kuremas pinggangnya dan dia mengaduh kesakitan.

Sungai Thames yang kebiru-biruan di bawah London Bridge masih beriak tenang. Aku memimpikan menikah di sini. Di London Bridge.
"Pernikahanku akan sangat romantis", kataku suatu hari. "Aku akan mengenakan baju pengantin layer berwarna krem serta sepatu tali berwarna putih. Pengantin laki-lakiku akan mengenakan jacket dan kemeja putih dengan shawl putih di lehernya. Kita akan jadi pengantin paling romantis pada sebuah pernikahan yang paling dramatis dan syahdu," ceritaku panjang lebar seperti kepada angin.
"Syahdu?" suara John samar-samar.
"Ya, syahdu. Oleh karena itu, tak perlu banyak orang yang datang. Cukup orang tua, keluarga, serta sahabat dekat saja," kataku.
"Yeah.. Bahkan, kalau perlu kita berdua saja, sang pengantin, disaksikan oleh Tuhan, dan London Bridge," timpal John.

Hubunganku dan John sudah berjalan hampir dua tahun. Aku ingat saat pertama kali kami bertemu. Saat itu aku dan beberapa orang teman sedang dikirim perjalanan dinas oleh kantor tempatku bekerja. Kami ditugaskan untuk mendatangi pameran buku di London dan Frankfurt untuk mencari buku-buku yang layak kami beli royaltinya, kemudian kami terbitkan di Indonesia. Kami juga berkunjung ke penerbitan besar setempat untuk saling bertukar pikiran dan cerita.

Setelah pameran, kami berempat; aku, Yanti, Susan, dan Lia, berjalan-jalan dari pusat perbelanjaan di London Bridge menuju hotel. Susan dan Lia berjalan di depan. Sedangkan aku mengikuti di belakang mereka bersama Yanti. Di tengah perjalanan, tampaklah sebuah motorcycle unik bermerk BMW. Motor itu dipasangi payung di atasnya. Warnanya hitam dan biru.

"It's really something, isn't it Mbak Yanti," ujarku pada mbak Yanti. Yang ditanya sepertinya sedang bermain dengan pikirannya sendiri. "Apa gunanya payung ini, ya? Kalau hujan pasti tetap saja kehujanan," celotehnya.

Ah, perhatianku semakin tertuju pada body motor yang kelihatan gagah itu. Aku meneliti, menyentuh, dan memain-mainkannya. Posisiku sedang berjongkok memperhatikan bagian mesin motor tatkala tiba-tiba saja pandanganku terhalang sesosok tubuh laki-laki. Ia sedang menenteng sebuah helm yang berwarna senada dengan motor unik tersebut. Tak salah lagi, laki-laki itu pasti si empunya motorcycle BMW.

Tak bisa tidak aku pun memandangi tubuh laki-laki tadi. Dari bawah ke atas. Ia memakai kemeja putih dengan celana dan jaket kulit berwarna hitam. Matanya biru langit, rambutnya gelap. Ia memakai kacamata minus. Ia tersenyum.

Tiba-tiba saja, aku merasa senggolan kencang di lenganku. "Aduh, Ri... Nih cowok ganteng banget. Sumpah, ganteng banget, Ri...," pekik mbak Yanti sambil terus menyenggol-nyenggol lenganku.
"Iya, iya...," kataku dengan kesal sambil balas menyenggolnya.

Mata kami sudah beradu. Sedetik, tapi rasanya kami sudah bertukar energi. Tiba-tiba saja aku merasa de javu. Aku merasa akrab dengannya. Aku seperti pernah mengenalnya. Tapi, di mana?
"Aku John," katanya sambil mengulurkan tangan. Ternyata laki-laki bermata biru itu bisa berbahasa Indonesia dengan fasih. Belakangan aku tahu bahwa John pernah hampir dua tahun tinggal di Jakarta dan belajar bahasa Indonesia.
"Aku Ariavita." Aku menyodorkan kartu namaku. "I'm an editor," sambungku untuk menutupi malu karena telah meneliti motorcyclenya. Setelah berjabat tangan, kami pun berlalu dengan malu. Namun setelah melewati perempatan jalan, aku dan mbak Yanti tak dapat menahan diri, cekikikan menertawai kebodohan diri sendiri. Setelah itu John mulai rutin menelponku.

"Aku ingin segera punya anak. Aku ingin punya anak sebanyak-banyaknya," kataku suatu hari ketika kami sedang duduk di bangku di sebuah taman kota di Jakarta. Sejak kami memutuskan untuk berhubungan serius, sesekali aku selalu menyempatkan diri datang ke London. Begitupun John, sesekali mengunjungi aku ke Jakarta.
"Aku bisa memberimu anak," timpal John. "They would have your beautiful skin and your curly black hair," sambungnya.
"And your blue eyes, of course," sahutku cepat.
"Enam bulan lagi usiaku tiga puluh tahun. You know, ketika masih gadis kecil, aku memimpikan punya anak saat usiaku dua puluh tahun," aku mulai bercerita. "Tapi tak apalah. Masih sempat. Kalau produktif, aku masih bisa punya lima anak sampai usiaku 35 tahun." Ini terdengar seperti sebuah pembelaan diri.
"Setahun satu?" tanyanya bingung.
"Yah," kataku tersenyum seakan semua nyata di depan mataku.
"Tapi kata orang, semakin sering berhubungan seks, akan semakin sulit hamil, lho. Justru, kalau jarang, malah semakin berkualitas," katanya tiba-tiba.
"Then we should rarely have sex," jawabku mantap. John pun memberangut.

Semakin siang, semakin banyak pejalan kaki yang bermain-main di London Bridge. Tanpa aku sadari, di sebelah kanan kiriku pun mulai ramai orang berdiri menontoni sungai Thames. Di bawah, beberapa perahu kecil mulai berlayar mengantarkan penumpangnya berekreasi menyusuri sungai.

Tiba-tiba saja aku merasakan getaran kuat di pinggangku. Ternyata berasal dari handphoneku yang menandakan masuknya sebuah pesan singkat.

Mariska
(Number Unknown)
Telah lahir dengan selamat putri pertama kami bernama Nabila Putri Agung. Mohon doanya supaya menjadi anak yang baik dan berbakti pada kedua orang tuanya. Amin.

Aaaarrrgghhh! Segera kuhapus pesan singkat itu. Maaf, Mariska. Bukan aku tidak ikut bersyukur atas kebahagiaanmu. Sejujurnya aku sangat bersyukur dan berbahagia. Kau adalah sahabat terbaikku. Tapi, maaf. Saat ini waktunya sangat tidak tepat. Aku sedang tidak bisa merasakan kebahagiaan. Aku terbenam. Semakin terbenam.

Minggu ini aku sudah mendapatkan tiga sms senada dari kawan-kawan baikku. Sms Mariska adalah yang keempat. Semua mengabarkan kebahagian. Kelahiran putra-putri mereka. Mereka semua adalah sahabat-sahabat terbaikku. Suatu kali, kami pernah berjanji untuk menikah dan punya anak-anak dalam waktu yang berdekatan. Kemudian kami akan sering mengadakan arisan. Maksudnya hanya supaya bisa sering bertemu. Anak-anak kami akan saling berkawan. Kami akan menjadi seperti satu keluarga besar yang akrab. Ah, itu semua hanya impian.

Kini, mereka sudah menikah semua. Kemudian punya anak. Punya keluarga bahagia. Mendahuluiku. Dua di antaranya aku yang mencomblangi. Ketika akan menikah, mereka mendatangiku, seperti minta restuku. Ketika punya anak, mereka mengabariku. Ketika aku tidak muncul-muncul, mereka mengirimiku pesan pendek. "Mama Aria, datang dong. Mama kangen. Ajeng". Ah, aku seperti tengah mimpi buruk. Sangat buruk.

Ddddrrrrtttt. Ddddrrrrttttt. Dddddrrrrrttttt. Handphoneku bergetar lagi.

My John
(Number Unknown)
Aria darling, kamu di mana? Kenapa kamu tidak pernah balas pesanku? Kenapa kamu tidak menjawab teleponku? Aria, please don't do this to me.

Ah, John. Biarkan semuanya begini. Lupakan aku. Biarkan aku sendiri.

Sungai Thames semakin ramai. Demikian pula London Bridge.Tiba-tiba semuanya tampak buram. Semakin lama, semakin gelap. Terdengar tawa riuh rendah itu. Setelah pesta. Sosok hitam itu. Semakin gelap. Tiba-tiba putih. Semua putih. Silau. Samar-samar terdengar suara,"Harus diangkat, Bu. Kalau tidak, bisa kanker rahim." Lalu gelap lagi. Lama. Aku hanya tak ingin tersadar lagi.

Jakarta, 23 Mei 2007

1 comment:

Anonymous said...

kereeeen..aku selalu ga bisa bikin setting luar negeri, dengan karakter perempuan matang dengan segala masalahnya.
Nice short story. I love it.
Bravo! hehehe..