Wednesday, May 16, 2007

Will I Become Her Someday?

SEORANG DINI, SEORANG DIRI

Sekitar pukul setengah empat sore itu, cuaca kota Yogjakarta sangat bersahabat. Matahari bersinar dengan hangatnya, mengantarkan warna jingga ke bumi yang keabuan. Angin terasa lembut menyentuh wajahku yang sedang berada di atas sepeda motor. Sore itu kami sedang menuju ke kediaman Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, seorang penulis perempuan yang lebih dikenal dengan nama NH Dini. Aku sangat bersemangat karena aku akan bertemu seorang perempuan penulis Indonesia yang pada tahun 2003 mendapatkan SEA Write Awards atau sebuah penghargaan bagi para penulis ASEAN di Bangkok. Tapi jauh sebelumnya aku mengenalnya ketika membaca novel Pada Sebuah Kapal ketika SMA. Kala itu guruku membuatnya sebagai sebuah tugas. Sejenak kupejamkan mataku. Kutarik nafas panjang lalu kehembuskan perlahan. Kunikmati suatu sore di jalanan kecil kota Yogja yang mulai berdenyut menyambut datangnya malam.
“Bu, rumah jompo di mana ya?” Kami bertanya pada seorang ibu yang sedang menyapu pelataran rumahnya ketika kami sudah memasuki komplek kampus UGM (Universitas Gadjah Mada). Sebenarnya saat itu aku diantar oleh seorang teman penulis yang sedang menyelesaikan kuliahnya di salah satu universitas di kota pelajar itu, tapi ia tidak mengetahui di mana tepatnya rumah NH Dini. Yang kami tahu saat ini, perempuan penulis itu menghabiskan usia senjanya di sebuah komplek Graha Wredha Mulia, sebuah komplek yang dibuat khusus bagi para lansia di jalan Sendowo, di sekitar komplek UGM. Akhirnya kami pun memutuskan lebih aman untuk bertanya.
“Itu…,” kata ibu muda itu seraya menunjuk pada sebuah tembok tinggi yang berdiri di sebelah kanan rumahnya yang dipisahkan oleh sebuah gang kecil. “Di ujung sana ada becak kuning, belok ke kanan, nah masuk panti jomponya dari situ,” jelas ibu itu dengan bahasa Indonesia beraksen Jawa kental. Setelah mengangukkan kepala tanda mengerti, kami berjalan sesuai dengan petunjuknya, sambil tak lupa mengucapkan terima kasih. Mata kami tertuju pada becak kuning yang memang terlihat menonjol di pojok pertigaan jalan kecil itu. Tepat di depan becak kuning itu, kami berbelok ke kanan. Tak jauh dari belokan itu, di sebelah kanan tampaklah sebuah gerbang besi putih kecil-kecil. Di dalamnya sebuah rumah beratap segitiga merah dengan pintu besar di tengah dan dua jendela kaca besar di kanan kirinya langsung tertangkap oleh pandangan mata kami. Menatap rumah itu, aku seperti mendapat sebuah pencerahan, dan aku pun tersenyum lega.
“PONDOK BACA NH DINI”
Tulisan itu diukir di sebuah kayu berwarna coklat yang dipajang sebagai penanda di dinding rumah beratap segitiga itu. Ukiran yang tampak kecil dibandingkan rumah yang terlihat luas, terlebih karena cat tembok rumah itu berwarna putih, demikian pula lantai keramiknya.
Ini rumah bacanya NH Dini, kataku dalam hati. Aku mulai masuk. Bersih. Lemari-lemari dengan buku-buku yang tidak sesak menempel di dindingnya. Bangku-bangku panjang menghadapi meja-meja yang juga panjang. Sepi. Seperti layaknya sebuah perpustakaan. Hanya ada seorang anak perempuan kecil duduk sambil membaca. Ia mendongak ketika aku masuk. Hampir berjingkat aku berjalan menuju ke meja kecil di ujung yang berada segaris dengan pintu belakang yang terbuka. Di sana ada seorang perempuan penjaga perpustakaan, yang terakhir kutahu bernama Wiwik. Darinya aku tahu bahwa NH Dini tinggal di paviliun A2.
Paviliun yang dimaksudkan oleh penjaga perpustakaan itu terletak tak jauh dari perpustakaan. Tepatnya sekitar 50 meter di seberang perpustakaan. Meskipun demikian NH Dini tampaknya jarang berkunjung ke perpustakaannya. Ini kutahu dari tulisan seorang anak kelas V SD yang menulis tentang betapa senangnya ia dengan adanya Pondok Baca. Ia sangat berterima kasih karena NH Dini telah membuatkan perpustakaan tersebut, namun mengaku sedih karena tak pernah mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan penulis besar itu. Tulisan tangan itu dipajang di majalah dinding di dalam perpustakaan bersama dengan tiga tulisan lain.
Paviliun A2 berada pada urutan kedua dari barisan-barisan paviliun yang memanjang sampai ke ujung jalan. Di depannya adalah jalanan kecil yang tanahnya terbuat dari batako kecil. Sejenak aku tertegun di muka paviliun tersebut. Aku seperti akan masuk ke dalam rumah-rumahan yang aku idamkan sejak kecil sebagai tempat tinggalku dan bonekaku. Rumah itu terasa sejuk, asri, dan alami. Bagian depan rumahnya dipenuhi oleh pot-pot berisi tanaman hias, ada yang digantung, ada pula yang diletakkan di bawah. Demikian banyaknya sehingga memberikan suasana rimbun pada paviliun tersebut. Dari depan kulihat siluet perempuan tua berperawakan segar sedang duduk dengan punggung membungkuk sambil menyulam. Aku bertanya-tanya apakah ini perempuan penulis yang sedang kucari itu?
“Selamat sore. Bu Dini?” Sapaku kepada perempuan pemilik rumah-rumahan idamanku itu. Aku merasa seperti anak kecil di dalam alam mimpiku. Dengan memeluk boneka di tangan kiriku, aku bertamu ke rumah kue Hansel dan Gretel. Atau aku adalah si kerudung merah yang sedang berkunjung ke rumah nenek. “Ya? Masuk…,” Suara tegas perempuan tua yang sedang mengernyitkan dahi karena kebingungan itu membuatku tersadar. Aku tidak sedang menggendong boneka di tangan kiriku, tapi sebuah tas berat yang di dalamnya berisi buku catatanku, tape recorder, dan kamera saku. Peralatan standar seorang reporter kalau akan mewawancarai seseorang.
Ibu tua yang kucari itu berdiri kemudian membukakan pagar berwarna coklat tua yang membatasiku dengannya. Tinggi pagar itu hanya sedikit melewati tungkaiku. Sebelum masuk, aku sempat memerhatikan wajah perempuan tua yang berdiri di hadapanku. Ketika itu aku yakin, ini pasti NH Dini, penulis yang banyak mengangkat masalah pendobrakan perempuan pada tatanan stereotip ideal versi masyarakat patriarkal lewat novel-novelnya. Wajahnya kuingat di foto yang ada di sampul belakang bukunya. Ia, perempuan muda dengan semangat yang bergelora dalam foto hitam putih itu. Tersenyum genit sambil memeluk seekor kucing angora. Kini wajah cantik itu masih tergambar pada raut wajah perempuan tua berdaster biru dengan motif kembang putih di hadapanku. Hanya saja kini senyumannya lebih miris, lebih sinis, serta penuh dengan goresan kekecewaan.
Aku duduk di bangku yang ditunjukkan NH Dini kepadaku. Bangkunya terasa lebih pendek dari ukuran biasanya, sampai hampir saja aku bisa memeluk lututku. “Sedikit panas…,” katanya. Mungkin karena ia melihat aku duduk tepat pada bagian bangku yang terkena sinar matahari sore. Tak apa, tidak panas. Malah terasa hangat, kataku dalam hati. “Siapa ya…,” tanyanya lagi. Tampaknya ia masih bingung dengan keberadaanku. Aku mulai menjelaskan. Aku katakan bahwa aku adalah reporter majalah Ibumi, yang sedang lawatan ke Yogjakarta dan sengaja datang untuk menemui perempuan penulis besar, NH Dini. Ketika aku sedang menjelaskan, ia mengambil sulamannya dari meja bundar di depannya kemudian melanjutkan menyulam.
“Sedang buat apa, Bu?” tanyaku padanya karena melihat ia sangat serius menyulam, sampai mengabaikanku. “Ini untuk tutup magic jar. Selain itu saya juga membuat tamplak meja, dan lain-lain,” katanya sambil meletakkan sulamannya yang berbentuk bulat di meja. Tak sengaja mataku mengikuti sulaman tersebut dan baru menyadari bahwa saat itu ia sedang menyulam aksen bunga warna-warni di bagian pinggir, sedangkan di bagian lain tampak gambar bunga kecil-kecil dari pensil. Kemudian ia bercerita bahwa menyulam adalah kegiatan rutinnya saat ini. Selain itu ia juga menanam tanaman-tanaman hias, seperti tanaman perdu yang ia dapatkan dari seorang kawan yang tinggal di luar negeri, kemudian ia kembangkan dan ia jual. Semua itu ia lakukan, selain untuk membunuh waktu, juga untuk mendapatkan penghasilan. Oh, jadi tanaman hias yang membuat rumah itu demikian rimbun adalah untuk dijual, pikirku. Kemudian ia menjelaskan bahwa saat ini ia menopang hidupnya dengan uang penghasilan yang didapatnya dari menjual sulaman dan tanaman hiasnya. Meskipun ia tak bisa berharap banyak dari situ karena tak banyak yang tahu mengenai ‘jualan’nya itu. Ia hanya mengandalkan perbincangan teman-temannya saja. Ia pernah berpikir untuk membuat pameran, namun hal itu terhalang dengan keterbatasan ekonomi.
“Lebih baik tak usah mewawancarai saya,” katanya tiba-tiba. Ia memandang lurus ke mataku. “Sekarang kan banyak penulis-penulis muda. Lebih baik mewawancarai mereka saja. Untuk apa mewawancarai saya? Mereka tak pernah mengundang saya kalau ada diskusi-diskusi atau seminar-seminar. Dan itu lebih baik. Saya lebih senang begini.” Aku tertegun. Aku tak siap dengan reaksinya yang sedemikian tiba-tiba. “Bu…,” aku berusaha menjelaskan. “Panggil saya Eyang,” katanya memotong.
“Eyang,” aku menurutinya. “Saya datang ke Yogjakarta ingin sekali bertemu dengan Eyang, seorang penulis besar.”
“Tapi saya tidak mau diwawancara. Saya hanya seorang penulis. Saya hidup dari menulis. Kemarin saya habis operasi kaki. Itupun Gubernur Semarang yang membiayai, bukan Sultan. Sebab saya lahir di Semarang,” lanjutnya sambil menunjuk lututnya.
“Osteoporosis?” tanyaku.
“Yah, semacam itulah. Pengeroposan tulang,” jawabnya.
“Cara kerja kalian, wartawan muda, memang seperti itu. Saya tidak suka,” ia melanjutkan. Aku tak bisa berkata-kata. Kupandangi ibu dari Marie-Claire Lintang dan Pierre-Louis Padang itu dalam-dalam. Masih terlihat sangat cantik di usianya yang senja, meski sederhana, tanpa sepoles pun make up menempel di wajahnya.
“Seperti wartawan dari sebuah media di Jakarta. Mereka mengikuti saya terus ketika belum lama ini saya berangkat ke Jakarta untuk rapat bersama Akademi Jakarta. Saya bingung. Lalu saya bertanya untuk apa mereka mengikuti saya. Ternyata mereka ingin mewawancara saya, tapi dengan cara mengekor dengan media lain. Sedangkan media lain itu sudah jelas. Mereka setiap hari mensuplai surat kabar untuk Pondok Baca. Selain itu mereka juga memberi saya amplop.” Sampai di situ tiba-tiba saya mengerti arah pembicaraan itu. Masalah ekonomi memang sewajarnya menjadi permasalahan utama yang mengemuka bagi seorang penulis perempuan berusia senja yang hidup sendiri.
“Biaya hidup saya semakin berat. Uang Uang obat saja sudah mahal. Apalagi sekarang dokter memberi saya makanan tambahan. Itu artinya tambah biaya.” Aku tertunduk. Aku merasa sangat menyesal datang tanpa membawa buah tangan apapun bagi penulis yang kukagumi itu.
“Belum lama ini wartawan dari sebuah stasiun TV juga datang ke sini. Tanpa pemberitahuan apapun mereka datang berenam dengan peralatan kamera, tripod, pokoknya lengkap. Saya kaget. Saya tanya ‘ada apa ini’. Mereka menjelaskan bahwa mereka ingin mengangkat profil saya untuk Hari Kartini. Saya marah-marah. Tidak bisa caranya begitu. Saya menolak. Akhirnya mereka pulang sia-sia.”
“Kalau kalian mewawancarai penulis muda boleh caranya begitu. Tapi kalau saya? Darimana saya hidup kalau caranya demikian. Saya cuma hidup dari menulis. Sastrawan lain masih ada yang mengangkat. Seperti Taufik Ismail. Karya-karyanya dinyanyikan oleh Bimbo. Jadi orang tak akan lupa,” N.H. Dini melanjutkan keluhannya.
“Tapi buku Eyang kan dicetak ulang terus,” kataku.
“Ya. Coba kamu lihat saja di toko buku. Ah, tapi saya sudah bosan berharap. Memang setiap setengah tahun sekali saya mendapatkan uang royalti. Banyaknya 7 juta rupiah. Tapi untuk uang kontrakan saja sudah 6,5 juta pertahun, belum lagi uang listrik, dan air. Lalu saya juga harus menyisihkan uang setiap bulannya untuk Pondok Baca,” tandasnya.
“Tapi Eyang masih menulis terus kan? Kapan rencananya akan meluncurkan buku lagi setelah Dari Fontenay ke Magalianes terbit tahun lalu?”
“Yah, saya berusaha untuk menulis terus. Saya membiasakan diri untuk berada di depan komputer minimal dua kali seminggu. Selain itu saya juga selalu berusaha untuk menambah wawasan saya dengan banyak membaca, dan menonton berita di televisi. Saya juga suka nonton bioskop, dan biasanya ketika saya jalan-jalan sering kali saya menemukan ide untuk suatu cerita. Entah dari percakapan dua remaja atau apapun. Biasanya kalau ide itu muncul saya langsung mencatatnya ke buku catatan yang selalu saya bawa.”
NH Dini terkenal sebagai penulis paling produktif pada tahun 1970-an. Hingga kini pun perempuan yang cerpen pertamanya dimuat di majalah Gadjah Mada dan Budaya pada tahun 1952 masih banyak dicari oleh penerbit. Novel-novelnya pun masih sering muncul jadi bahan perbincangan. Banyak karyanya mengalami cetak ulang. Misalnya, novel Pertemuan Dua Hati, yang dicetak tahun 1986, hingga kini telah mengalami cetak ulang ke-13. Atau novelnya, Pada Sebuah Kapal, yang disebut-sebut sangat feminis itu, telah memasuki tahun cetak kedelapan.
Meskipun kekecewaan yang dalam pada nada suara perempuan penulis puluhan novel laris ini, namun idealismenya tak juga surut. Perempuan kelahiran Semarang, 29 Februari 1936 ini selalu siap untuk membimbing penulisan skripsi para mahasiswa, atau siswa SMA yang datang setidaknya tiga sampai empat kali dalam seminggu. Selain itu, ia juga membuat kegiatan seperti Lomba Menulis untuk anak-anak di Pondok Baca. Ia ingin sekali menanamkan budaya membaca pada anak-anak, karena ia sendiri besar di lingkungan yang gemar membaca. Bahkan ia masih menyempatkan diri untuk datang ke Jakarta setiap sebulan sekali untuk menghadiri rapat Akademi Jakarta. “Paling tidak selama empat hari,” katanya.
Dengan aktivitas yang padat itu, NH Dini mengimbanginya dengan kegiatan yang disebutnya ‘merawat diri’. “Berkebun bagi saya adalah sarana untuk berolahraga. Dengan merawat tanaman, tubuh saya bergerak, seperti menunduk, membungkuk, atau membelok. Selain itu saya juga harus merawat diri saya sendiri, salah satunya adalah dengan makan teratur dan tidur teratur. Nah, sekarang saya harus merawat diri. Saya harus makan tepat jam 6 sore, setelah itu makan obat,” katanya mengakhiri perbincangan kami.
Aku pun beranjak meninggalkan rumah NH Dini dan juga meninggalkan kota Yogyakarta dengan menyimpan kesan mendalam tentang masa tua seorang penulis kawakan. Tak bisa tidak aku pun mulai mempertanyakan apakah nasib tuaku akan seperti Dini jika kumemilih menggantungkan hidup pada pekerjaan menulis? Sedangkan terkadang menulis tidak muncul karena ekonomi semata. Terkadang aku menulis karena aku jatuh cinta pada menulis. Aku yakin demikian pula dengan Dini yang telah mencatatkan berbagai cerita yang ditemukannya dalam perjalanan hidupnya pada novel-novelnya. Tetapi ketika suatu saat masalah ekonomi mau tidak mau mengemuka, maka bukanlah hanya kewajibannya untuk mempertahankan hidupnya. Tetapi menjadi kewajiban kita semua untuk menyejahterakan hidupnya.
Bukankah pekerjaan penulis adalah mulia? Secara langsung maupun tidak langsung mengedukasi masyarakat. Lalu mengapa kebanyakan penulis Indonesia tidak dapat menggantungkan hidupnya semata pada pekerjaan menulisnya? Mengapa mereka malah bekerja di tempat lain dan menjadikan pekerjaan menulis sebagai pekerjaan sampingannya saja? Mengapa penulis Indonesia tidak dapat kaya raya karena menulis karya, seperti yang terjadi pada penulis-penulis luar negeri? Sudah saatnya kita mulai menengok kehidupan para penulis Indonesia, dan setidaknya menjamin kesejahteraan mereka sehingga setidaknya mereka bisa berbangga diri menjadi penulis Indonesia dan terus berkarya untuk Indonesia. Tidak seperti Seorang Dini, yang kini seorang diri.

1 comment:

Anonymous said...

NH Dini cantik? Hoalah, orang idungnya pesek dan gede gitu. Item, gendut dan pendek pula. Dimana letak kecantikan fisiknya?

Kalo yg biasanya jd tipe - tipe bule kayak Fahrani dan Kimmy Jayanti misalnya, masih mending. Biarpun item tapi berhidung mancung dan tinggi langsing.

NH Dini aja ngakuin sendiri di salah satu bukunya (kebetulan saya lupa judulnya), waktu dia jalan sama anaknya yg namanya Lintang dia dikira pembantunya. Yaiyalah! Kayak Cinta Laura sm Ibunya. Persis majikan sama pembantunya. Tampangnya beda 180 derajat.